|
SEMINAR NASIONAL
TEORI ARSITEKTUR
Universitas Indonesia 16-17 Februari 2001
Abstraksi
Selama ini dikenal tiga khasanah teori yang diakui ada dalam dunia arsitektur. Pertama, teori tentang arsitektur (theory about architecture) bersifat memaparkan tentang what is architecture menurut posisi teoritis arsitek dan paradigma yang dianutnya. Kedua, teori di dalam arsitektur (theory in architecture) berupa teori "apa saja" yang digunakan oleh para arsitek dalam praktik profesionalnya. Ketiga, teori arsitektur (theory of architecture) yakni sebentuk teori yang khas arsitektur, mirip teori atom atau teori gravitasi yang muncul serta berlaku dalam ilmu fisika. Teori arsitektur jenis ketiga ini sebenarnya lebih tepat berada dalam kategori theory on architecture, yang menunjukkan adanya academic sense daripada theory about architecture. Meskipun demikian, theory on architecture akan muncul dari adanya theory about architecture, sebagai konsekuensi logis dan menjadi substansi dari paradigma arsitektur yang dianut seorang pencetus
teori.
Dalam pemahaman dunia akademik, suatu teori dikenal memiliki tiga sifat, yakni eksplanatif, prediktif, dan kontrol. Teori dengan pengertian semacam itu umumnya berlaku bagi teori - teori dalam ilmu (scientific theories), namun tidak berlaku dalam dunia arsitektur. Teori dalam dunia arsitektur bersifat unscientific, spekulatif, subyektif, terkait dengan eksplanasi konsep desain, merupakan tuntunan praktik, atau iluminasi tentang suatu desain arsitektur. Teori dalam arsitektur tidak mampu memberikan jaminan keberhasilan prediksi seperti halnya teori dari khasanah ilmu. Dengan demikian, arsitektur hanya akan mendukung status quo, menciptakan yang lama dalam situasi baru, maka tidak mampu menjadi sarana emansipatori kehidupan manusia. Oleh karenanya, arsitektur tidak dapat lagi menggunakan teori tradisional atau bersifat spekulatif saja karena tidaklah memadai untuk praktek arsitektur kini dan masa depan.
Arsitektur hingga kini telah semakin terlibat di dalam kehidupan masyarakat, bahkan menjadi sarana bagi penyelesaian problematika kehidupan manusia, maka sudah selayaknya tidak hanya menggunakan teori - teori yang bersifat spekulatif, melainkan perlu dilandasi dengan nilai - nilai etis. Arsitektur semestinya mampu menjadi sarana emansipatori manusia, yakni pembebasan dari kealamiahan manusia maupun dari rintangan yang dibuatnya sendiri. Hal itu berarti, arsitektur yang mau menjadi sarana emansipatori manusia hendaknya selalu berada di dalam diskursus tanpa henti dengan pengalaman praktik (dimensi empiris) maupun dengan teori - teori (dimensi transenden). Dunia arsitektur harus menyadari bahwa kebenaran yang telah ditemukan (dibekukan menjadi teori) sebenarnya bersifat tentatif, dan hanya dengan refleksi dua kutub, maka kebenaran sejati makin menampakkan diri. Arsitektur perlu belajar dari pemikiran Juergen Habermas, menjadi arsitektur yang kritis karena hendak bersifat emansipatoris. Arsitektur semestinya tidak semata - mata berada di dalam paradigma ilmu - ilmu empiris - analitis, atau ilmu - ilmu historis - hermeneutis, sebaiknya juga dilandasi paradigma ilmu - ilmu tindakan yang berkepentingan emansipatoris.
Implikasinya, teori - teori dalam dunia arsitektur hendaknya selalu berada dalam kondisi dinamis, senantiasa direfleksikan terhadap cita - cita etis dan emansipatori manusia karena teori yang berubah menjadi ideologi atau mitos akan memutlakkan kebenaran - kebenaran ideologis serta menolak pemikiran - pemikiran kritis. Teori semacam itu potensial menjadi pembatas gerak bagi kelestarian kehidupan. Teori arsitektur meskipun berkembang di dalam sejarah arsitektur, dialektika teori - praksis, dan di dalam kritikisme, sebenarnya menjadi bagian dari sejarah perkembangan ilmu - ilmu. Teori dalam arsitektur perlu selalu diinteraksikan dengan teori dalam bidang - bidang ilmu lain, sehingga memiliki kekuatan yang makin efektif sebagai sarana emansipatoris. (ydp.251200)
Arsitektur
berkembang tidak di dalam ruang hampa, melainkan ada di dalam
konteks kehidupan masyarakat. Seperti pada ilmu – ilmu lain,
keadaannya selalu berkaitan dengan dinamika kehidupan
masyarakat. Hal itu berarti terdapat hubungan timbal balik
antara arsitektur dengan kehidupan masyarakat. Arsitektur
dipengaruhi oleh kehidupan masyarakat, demikian pula
sebaliknya. Dengan demikian, arsitektur kadang menjadi obyek
dan kadang juga menjadi subyek dalam konteks hubungan timbal
balik itu. Sebagai subyek, seringkali arsitektur memiliki
peran menentukan perubahan masyarakat, melalui karakteristik
obyek – obyek arsitektur yang muncul, baik berupa bangunan,
maupun tata ruang luar pada berbagai tingkat keadaan (skala).
Arsitektur dalam
konteks perubahan masyarakat : mungkinkah perubahan sosial
masyarakat melalui partisipasi arsitektur ? Menurut Victor
Papanek (1984), perancang menghadapi dilema etikal yakni
antara profit dan tanggung jawab sosial (38), sedangkan desain
& desainer harus memiliki kontribusi dalam kehidupan nyata
manusia dan sosial (39). Hal itu menunjukkan bahwa peran
perancang (arsitek) berada di dalam ketegangan diantara dua
kutub, yakni kutub ideal dan kutub kehidupan nyata.
Menurut, Evans,
Powell & Talbot (1982), perancang (arsitek) adalah agen
perubahan (3) dan erancang harus memikirkan dampak jangka
panjang rancangannya pada kehidupan manusia (3). Juga
dikatakan bahwa desain dalam konteks sosial hendaknya bukan
hanya suatu ungkapan diri, seyogyanya melayani masyarakat (6).
Dengan demikian, hakekat desain harus diubah
ke arah plural view (interdiciplinary
approach).
Permasalahannya :
bahwa tujuan perubahan masyarakat adalah menuju masyarakat
yang sempurna, bebas dari penindasan, pembelengguan,
keterbelakangan, maka desain seharusnya mengandung maksud
emansipatoris (ide dasar Marx, 1867). Pertanyaannya adalah (1)
Bagaimana landasan rasional desain yang bertujuan
emansipatoris ? (2) Paradigma atau teori arsitektur manakah
yang memadai sebagai landasannya ?.
Teori Kritis versi
Juergen Habermas dapat dipertimbangkan menjadi alternatif
untuk membangun kesadaran baru berarsitektur.
Teori positivistik
menceriterakan keadaan secara apa adanya, merumuskan realitas
obyektif (“bebas nilai”). Teori positivistik sebagai
landasan aksi akan menghasilkan kenyataan obyektif lama muncul
dalam konteks baru (status quo). Teori positivistik bersifat
ideologis dan apabila menjadi landasan aksi akan menciptakan
dilema usaha manusia rasional yang terjebak
irasionalitas.Teori Kritis menjadi kritis terhadap teori –
teori positif karena bertujuan membangun dan membebaskan
manusia dari segala belenggu yang muncul.
To read more :
Naskah ini
mengandung foto-foto dan terlalu besar untuk ditampilkan
dengan format homepage. Anda dapat membacanya dengan cara
mendownload dalam versi .PDF dan dibuka dengan Adobe Acrobat
Reader.
|
|