|
ADIS
PENDIDIKAN ARSITEKTUR ATMA JAYA ?
Abstrak
Detailed design sebagai pola
ilmiah pokok (PIP) pada program studi Arsitektur Atma
Jaya merupakan kata kunci yang kontroversial sejak tahun
1987. Detailed design pada dasarnya mengandung ketidakjelasan,
dan terbukti tidak mengarahkan secara signifikan pada
operasionalisasi pembelajaran dan hasil pengajaran yang
diharapkan sesuai kurikulum. Pendidikan Arsitektur Atma
Jaya perlu melakukan evaluasi dan refleksi yang mendalam
untuk menegaskan cirikhas pendidikannya, dengan mempertimbangkan
hakekat eksistensi diri arsitek dan arsitektur di era
milenium ketiga termasuk melihat pemikiran - pemikiran
yang berkembang dari dalam kalangan arsitektur maupun
kritik dari luar kalangan arsitektur.
Pendahuluan
Tiga puluh lima tahun merupakan
usia yang masih sangat muda untuk sebuah perguruan tinggi,
apalagi usia sekitar 20 tahun untuk sebuah program studi
di dalamnya, yakni Arsitektur Atma Jaya. Kurikulum pendidikan
yang berlaku di Arsitektur Atma Jaya saat ini adalah
kurikulum yang diperbaharui pada tahun 1995, maka menurut
ukuran kewajaran memang sudah harus dilakukan usaha
- usaha penyempurnaan. Lazimnya sebuah penyempurnaan
selalu didahului dengan suatu evaluasi yang "obyektif"
artinya bertumpu pada fakta lapangan, tetapi kesiapan
untuk memperbaharui dengan tahap semacam itu belum terlihat
tanda - tandanya. Tulisan ini ingin melakukan kritik
sekaligus menyumbangkan pemikiran, bahwa cirikhas pendidikan
Arsitektur Atma Jaya seharusnya dipikirkan kembali sekaligus
dipertajam untuk masa - masa yang akan datang dengan
pendekatan yang lebih baik.
Detailed Design : sebuah impian
?
Detailed Design adalah rumusan
singkat dari Pola Ilmiah Pokok (center of excellence)
bagi Arsitektur Atma Jaya. Detailed Design adalah sebuah
kata kunci yang kontroversial milik komunitas dosen
Arsitektur Atma Jaya selama beberapa tahun ini. Kata
kunci tersebut masuk dan menjadi wacana di kalangan
Arsitektur Atma Jaya sejak sekitar tahun 1987, ketika
program studi ini mencapai usia sangat muda yakni sekitar
6 tahun. Kata kunci tersebut telah beberapa kali diperbincangkan,
dan kini telah mencapai usia 13 tahun namun tetap mengandung
kekaburan yang cukup signifikan.
Kata kunci tersebut kontroversial
karena selama ini implementasinya di dalam pengajaran
tidak terlihat, minimal tidak diperoleh bukti faktual
yang mendukung operasionalisasinya di dalam praktek
pengajaran maupun kualitas keluarannya. Dosen maupun
mahasiswa Arsitektur Atma Jaya, yang notabene di dalam
mental map-nya ada kata keramat "detailed design",
ternyata melakukan kegiatan belajar - mengajar yang
sama dengan dosen dan mahasiswa arsitektur dari institusi
lain. Bahkan dapat dinyatakan tegas bahwa tidak ada
bedanya mengikuti kegiatan perkuliahan arsitektur di
Atma Jaya dengan di institusi lain, baik negeri maupun
swasta. Oleh karenanya, sulit menjawab secara mendasar
dan bertanggungjawab atas pertanyaan : apa itu detailed
design dan bagaimana dampaknya pada proses dan kualitas
pengajaran serta kualitas out put pengajarannya ?
Permasalahannya adalah, kalau
detailed design memang diharapkan menjiwai kualitas
lulusan Arsitektur Atma Jaya, maka tentulah menjiwai
seluruh isi dan proses perkuliahan pada mata kuliah
- mata kuliah perancangan arsitektur (studio). Hal itu
semestinya berarti bahwa pada mata kuliah perancangan
arsitektur (studio), yang di Arsitektur Atma Jaya menjadi
bagian inti dari kurikulumnya, diterapkan suatu metoda
pengajaran dan evaluasi yang khusus dan hal itu khas
Arsitektur Atma Jaya untuk menegaskan adanya muatan
khusus (yakni detailed design) yang dikembangkan.
Tetapi ternyata hal semacam itu
tidak ada di dalam manajemen perkuliahan pada mata kuliah
- mata kuliah perancangan arsitektur (studio), bahkan
selama bertahun - tahun sejak kelahiran konsep itu !!!!
Artinya, seorang dosen arsitektur dari institusi lain
kalau mengajar mata kuliah perancangan arsitektur (studio)
di Atma Jaya akan melakukan dan mengalami hal yang sama
seperti ketika mereka mengajar di institusinya pada
mata kuliah yang sama. Para dosen tidak dibekali (atau
membekali diri) dengan "sesuatu" yang khusus
diarahkan untuk mengoperasionalkan ide - ide atau kriteria
detailed design dalam kegiatan perkuliahannya. Bahkan
tolok ukur atau kriteria detailed design tidak ada !!!
Keadaan semacam itu sebenarnya
aneh, dan lebih aneh lagi kalau dibiarkan terus tanpa
penanganan yang benar dan mendasar. Kita sudah memasuki
milenium baru, maka diperlukan cara pandang dan sikap
yang lebih sesuai. Selama ini, kurikulum meminta ada
kualitas hasil tertentu ("lulusan menguasai detailed
design") sementara cara atau metode pengajarannya
tidak dirancang. Akibatnya, dampak dan implementasi
Pola Ilmiah Pokok yang diharapkan tidak dapat terwujud.
Semua telah tahu bahwa pada tingkat dosen pengajar-pun
tidak ada instrumen khusus yang dapat membuktikan bahwa
kegiatan perkuliahannya sungguh mengarah pada internalisasi
konsep detailed design di dalam pikiran, sikap dan perilaku
mahasiswa. Kesimpulannya, detailed design sebagai PIP
Arsitektur Atma Jaya memang masih tinggal di awang -
awang, di alam mimpi.
Detailed design dapat dikatakan
menjadi "milik" komunitas dosen Arsitektur
Atma Jaya karena hingga saat ini tidak pernah menjadi
perbincangan (wacana, discourse) yang signifikan di
kalangan mahasiswa. Hal itu merupakan bukti yang kuat
bahwa kata keramat itu hanya menjadi wacana di kalangan
dosen Arsitektur Atma Jaya saja !!! Kata keramat itu
akan selalu muncul di dalam lokakarya - lokakarya tahunan,
dan tidak pernah diperoleh penjelasan yang memuaskan,
terutama yang dapat digunakan untuk operasionalisasinya
di dalam pengajaran.
Meskipun kata keramat itu milik
para dosen, yang memang merasa memilikinya, namun terbukti
juga bahwa sebenarnya mereka tidak mampu (tidak mau
?) melakukan implementasi secara terencana dan sistematis
di dalam proses perkuliahan menurut metode pengajaran
yang benar dan baik. Dengan demikian, secara faktual
terbukti bahwa kata keramat itu hanya menjadi milik
para dosen ketika mereka memperbincangkannya, maka kepemilikannya
secara inheren layak diragukan. Pertanyaannya adalah
: detailed design itu milik siapa ?
Fakta lain menunjukkan keluhan
yang muncul justru mengarah pada indikasi - indikasi
kuat bahwa para mahasiswa Arsitektur Atma Jaya memiliki
kekurangan yang mendasar pada penguasaan hal - hal yang
detail. Bukti yang sangat kuat adalah keluhan para dosen
Arsitektur Atma Jaya sendiri ketika menguji karya tugas
akhir mahasiswa (TGA) yang hampir seluruhnya memiliki
kekurangan sangat menonjol pada penguasaan detail -
detail penting, baik dari segi ide maupun visualisasinya
dalam gambar rancangan. Hal itu menunjukkan bahwa persoalan
penguasaan detail pada mahasiswa sampai tingkat akhir-pun
memang lemah dan memang pantas menjadi keprihatinan.
Seandainya ujian TGA tersebut
dijadikan tolok ukur di ujung proses keberlakuan konsep
detailed design di dalam "perilaku profesi"
mahasiswa Arsitektur Atma Jaya, maka fakta sudah menunjukkan
bahwa kesimpulannya negatif !!! Mengapa demikian ? Dimana
salahnya ? Ide detailed design ataukah implementasinya
? Jawaban yang diberikan semestinya disusun melalui
suatu proses investigasi yang khusus agar dapat benar
(secara substansial) dan bertanggungjawab (sesuai dengan
fakta lapangan). Dengan kata lain, diperlukan evaluasi
dan refleksi khusus untuk menangani hal itu.
Menurut kami, kondisi semacam
ini bersifat fatal sebab komunitas dosen Arsitektur
Atma Jaya dapat dikatakan telah gagal menjalankan amanat
kurikulum yang diyakininya. Sungguh sangat disesalkan,
keadaan semacam itu terus berlangsung tanpa penanganan
yang signifikan. Pertanyaannya adalah, apakah konsep
detailed design masih akan dipertahankan mati - matian
dengan tanpa instrumen yang baik untuk melakukan implementasi
sekaligus evaluasi keberhasilannya di era milenium ketiga
ini ? Ataukah dicari konsep lain yang lebih signifikan
dengan kebutuhan pelayanan profesi arsitek dalam era
kini dan yang akan datang serta bersifat reasonable,
applicable dan manageable ?
Pendidikan Arsitektur Atma
Jaya : kemana arahnya ?
Mungkin ada benarnya bahwa "siapa
yang menguasai detail adalah penguasa lapangan",
meskipun ada bahaya bahwa "siapa yang terjebak
detail adalah terpuruk di dalam kebodohan yang sia -
sia". Kalau diingat pandangan - pandangan para
pemikir pendidikan, misalnya Broadbent (dalam Pearch
& Toy, 1995) dan Neil Leach (dalam Pearch &
Toy, 1995 dan 1997), maka lulusan Arsitektur Atma Jaya
jelas diarahkan menjadi arsitek - arsitek lapangan.
Artinya, mereka dibentuk dan diarahkan lebih sebagai
"practical man" daripada "philosopher"
(istilah Broadbent), atau menjadi homo faber (manusia
tukang) daripada homo cogitans (manusia pemikir) menurut
istilah Neil Leach (dalam Pearch & Toy, 1995).
Kesimpulan ini kalau diperiksa
dengan fakta lapangan, justru bertentangan. SDM dosen
Arsitektur Atma Jaya sebagian besar bukan praktisi arsitektur,
hanya sebagian kecil saja yang sehari - harinya akrab
dengan kondisi lapangan, dan sebagian besar lainnya
bukan praktisi lapangan. Perilaku pengerjaan tugas juga
hanya sebagian kecil yang melibatkan dialog dan interaksi
dengan lapangan secara intensif dan sistematis. Jadi
sebenarnya ada kesenjangan antara "slogan"
(detailed design) dengan realitas lapangan, antara PIP
dengan praktek pengajarannya. Hal ini perlu mendapat
perhatian serius.
Dari sejarah, menurut Broadbent
(dalam Pearch & Toy, 1995), pendidikan arsitektur
selalu berada diantara dua kutub, yakni membentuk arsitek
lapangan atau arsitek pemikir, dalam istilah Broadbent
: berada diantara dua kutub pendidikan yang teoritis
ataukah ke arah praktis. Arsitektur Atma Jaya tidak
menegaskan pilihannya secara eksplisit, tetapi yang
eksplisit justru kata kunci detaild design, yang jelas
- jelas menunjukkan indikasi "penguasaan lapangan",
artinya jelas arsitek yang practical !!!
Masalahnya, pendidikan ke arah
praktikal ataukah teoritikal tetap harus dilakukan dengan
suatu manajemen atau prosedur perkuliahan yang tertentu
dan khas, termasuk lingkungan dan iklim akademisnya.
Hal itu berarti bahwa semua pihak yang terkait dapat
mengevaluasi, apakah isi pendidikan sudah dapat dioperasionalkan
dengan benar dan tepat, dan hasilnya dapat diukur dengan
riset khusus. Kalau hal ini tidak ada, maka sulit dipertanggungjawabkan
kalau ada pernyataan bahwa "detailed design sudah
berlalu di Arsitektur Atma Jaya".
Menurut Giovanni Salvestrini,
yang menulis tentang pendidikan arsitektur dalam tradisi
Italia, dikatakan bahwa "In order to teach architectural
design, the ability to do a good project is not sufficient;
one also needs to explain what architectural design
is and how one designs. In order to learn design, carrying
out a project is not enough" (Salvestrini, dalam
Pearch & Toy, 1995:42). Jadi mengarahkan pendidikan
hanya menjadi penguasaan lapangan semata ternyata tidak
mencukupi kebutuhan perilaku profesi arsitek. Klasifikasi
kemampuannya terletak pada ranah kognitif, motorik dan
afektif, dan hal itu semestinya muncul secara signifikan
di dalam proses - proses pengajaran melalui rancangan
manajemen perkuliahan yang sungguh terencana.
Prince of Wales's Institute yang
didirikan tahun 1992, misalnya, tegas - tegas memilih
basis craftmanship sebagai reaksi terhadap pengembangan
arsitektur yang cenderung mekanistis untuk mendorong
munculnya nilai - nilai kemanusiaan di dalam desain
arsitektur (Broadbent, dalam Pearch & Toy, 1995).
Kurikulum dan proses pengajarannya jelas dirancang khusus,
yakni banyak bekerja di kerajinan dan hanya sedikit
diberikan teori ("based on the crafts and there
is very little theory", Broadbent, dalam Pearch
& Toy, 1995:22), hal ini mirip Bauhaus di Jerman
era masa lalu. Secara ekstrim dikatakan "books
are forbidden here".
Lain halnya dengan pandangan
Neil Leach, seorang direktur pendidikan master arsitektur
dan teori kritis (MA in Architecture and Critical Theory)
pada universitas Nottingham, yang menyatakan bahwa pemahaman
teoritis para arsitek harus dikembangkan dalam kerangka
yang lebih luas karena arsitektur bukanlah realitas
yang berdiri sendiri sebab berada di dalam jejaring
kehidupan sosial dan politik manusia (Leach, 1997:xiv).
Leach melihat bahwa ada kecenderungan pendidikan arsitektur
yang "focused too much on abstract, intellectual,
architectural project" (Leach, dalam Pearch &
Toy, 1995:29) atau "purely abstract intellectual
architecture project" (ibid.26).
Hal itu berarti bahwa pendidikan
arsitektur harus berdialog dengan berbagai disiplin
ilmu. Konsekuensinya, di dalam proses pengajaran dirancang
proses dialog dengan berbagai disiplin. Ketika mendalami
Barthes atau Derrida , kuliah tidak diberikan oleh dosen
arsitektur, tetapi oleh dosen filsafat dan dosen pengajar
bahasa modern (Leach, 1995:28). Mahasiswa juga dapat
berbagi pandangan, berdebat, dengan mahasiswa fakultas
filsafat ketika mereka memperbincangkan Freud ataupun
Habermas (Leach, 2995:29). Bagi Leach, "architecture
must break with tradition" (ibid.29) dan "architectural
education needs to be infected with other discipline"
(ibid.28). Bagaimana dengan Arsitektur Atma Jaya ? Tradisi
manakah yang akan dianut untuk masa depan ? Selama ini,
sebenarnya menganut tradisi yang mana ? Itulah pertanyaan
- pertanyaan reflektif yang semestinya direnungkan.
Tegasnya, kini sangat diperlukan
paradigma baru dalam pendidikan arsitektur. Pertanyaannya,
detailed design sebenarnya mengacu pada paradigma yang
mana ? Kalau mengacu pada paradigma homo faber, maka
tepatlah kiranya hal itu. Tetapi, menurut Leach (dalam
Pearch & Toy, 1995:26) "architecture must go
beyond mere craftsmanship" sebab "architecture
must engage constructively with theory" juga karena
"the art of building was to be informed by a conscious
way of thinking". Ataukah detailed design akan
diperjelas dan dilengkapi dengan instrumen manajemen
perkuliahan yang baik ?
Model Pengajaran dalam Pendidikan
Arsitektur
Model pengajaran yang dilaksanakan
di Arsitektur Atma Jaya menekankan pada kegiatan kuliah
dan studio, artinya mengambil model penjelasan teori
dan praktek merancang. Secara faktual sebenarnya model
ini cenderung teoritis karena data untuk kegiatan perancangan
umumnya tidak valid meskipun dilakukan investigasi ke
lapangan. Kalau dicek pelaksanaan tugas - tugas investigasi
lapangan, maka terdapat kelemahan pada metode investigasi
dan berakibat pada kelengkapan dan kesahihan datanya.
Selain itu, mahasiswa sebagian besar waktunya bekerja
di studio, di dalam ruangan, dan tidak ada dialog dengan
realitas lapangan selama proses perancangan dilakukan.
Jadi pendidikan di arsitektur Atma Jaya lebih bermuatan
pendidikan teoritis.
Ekstrim lain sebenarnya ada contoh,
yakni fenomena kegiatan merancang yang dilakukan oleh
arsitek Le Corbusier . Corbu terkenal sebagai arsitek
yang banyak merancang vila dan rumah tinggal, dan karyanya
selalu merupakan reaksi untuk memanfaatkan kondisi alamiah
setempat. Corbu banyak melakukan kegiatan merancang
justru di lapangan, dengan cara melakukan peninjauan
lapangan dan membuat sketsa - sketsa "on site".
Tidak banyak teori yang digunakan, tetapi karyanya merupakan
jawaban terhadap realitas lapangan yang senyatanya.
Ornamen kadang dia temukan justru di lapangan, misalnya
dengan mengamati detail rerumputan, dia melakukan stilisasi
bentuk dan ditemukanlah ornamen yang khas bagi bangunan
yang akan didirikan. Dengan demikian, ornamen - ornamen
karyanya selalu unik dan menarik.
Model Bauhaus merupakan fenomena
yang lain, yakni mencoba menyatukan seni (art) dan kerajinan
(craftsmanship) dengan arsitektur. Para mahasiswa bekerja
di bengkel kerja (workshop) untuk mengembangkan desain
yang dikaitkan dengan industrulisasi. Fenomena ini muncul
kembali pada Prince of Wales's Institute yang kurikulumnya
mirip Bauhaus, namun dengan sebab - sebab yang berbeda.
Prince of Wales's Institute muncul sebagai reaksi atas
desain arsitektur yang mekanistis, maka unsur kerajinan
tangan manusia harus ada di dalam desain arsitektur
sebagai bukti keterlibatan nilai - nilai kemanusiaan
di dalamnya, bukan nilai - nilai masinal.
Fenomena Arsitektur Atma Jaya
dibandingkan dengan fenomena Bauhaus jelas sangat berbeda.
Apabila dibandingkan dengan MA di Nottingham, jelas
tidak sebanding sebab S-1 dibandingkan dengan S-2. Dibandingkan
dengan fenomena Corbu, juga jelas sangat berbeda. Namun
demikian, ada juga hal yang dapat dipetik sebagai pelajaran.
Kalau benar pendidikan Arsitektur Atma Jaya adalah cenderung
teoritis, maka dapat dikatakan sangat teoritis pada
aspek dialog dengan lapangan dan dengan teori - teori
dari disiplin lain. Dialog dengan teori - teori dari
ilmu lain tidak terjadi karena semua mata kuliah cenderung
diajarkan oleh para dosen arsitek sendiri. Akibatnya,
kalau dosen "ketinggalan jaman" alias "obsolete",
maka dapat terjadi mahasiswa akan lebih tertinggal di
belakang dan lebih parah.
Idealnya, ketika belajar tentang
metoda perancangan, misalnya, mahasiswa memiliki pengalaman
dialog dengan para arsitek profesional (praktisi) dan
dengan para pencipta dari kalangan seni yang lain (segala
macam seni), misalnya dari seni tari, seni patung, seni
ukir, dan lainnya. Mahasiswa dapat melakukan dialog
langsung bagaimana suatu proses kreatif muncul dan berkembang
hingga menghasilkan karya. Mereka dapat belajar dari
khasanah ilmu yang lain dan pengalaman lain. Dengan
proses dialog yang "lintas ilmu" semacam itu
mahasiswa akan diperkaya dan sangat diperkaya. Artinya,
kalau pepatah "bagai katak dalam tempurung"
berlaku, maka ada kemungkinan tempurung mahasiswa dapat
lebih luas dan transparan daripada tempurung dosen pengajarnya.
Masalah pokoknya adalah : ke
arah manakah pendidikan Arsitektur Atma Jaya mau dikembangkan
? Mendidik sarjana arsitektur yang praktisi ataukah
teoritisi ? Mendidik sarjana yang praktisi sekaligus
teoritisi ? Berapa waktu yang tersedia ? Penentuan hal
- hal ini sangat mempengaruhi perencanaan unsur - unsur
lain, misalnya kurikulum dan metoda serta proses pembelajarannya.
Penutup
Selain desain kurikulum dan perangkat
pendukungnya, ada satu faktor yang sangat menentukan
dan diperlukan ialah komitmen yang kuat dari para dosen
di dalam pelaksanaannya. Kualitas komitmen tersebut
kiranya sangat penting, dan telah terbukti bahwa kualitas
komitmen sangat dipengaruhi oleh kualitas loyalitas
dari para dosen terhadap pengembangan ilmu arsitektur
dan terhadap institusinya.
Quo Vadis Arsitektur Atma Jaya
?
Babarsari, 24 Agustus 2000
REFERENSI
Bakker, Geoffrey H., Le Corbusier
An Analysis of Form, London : VNR, 1984.
Barthes, Roland, The Fashion System, terjm. Matthew
Ward & Richard Howard, New York : Hill & Wang,
1983
Bertens, K, Filsafat Barat Abad XX jilid II Perancis,
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1996
Leach, Neil, Rethinking Architecture, A reader in Cultural
Theory, London : Routledge, 1997
Pearce, Martin & Toy, Maggie, Educating Architects,
Great Britain : Academi Editions, 1995
|
|